Pages

Banner

Senin, 10 Januari 2011

Wajah Bopeng Pelayanan Publik di Indonesia



Ketika ditanya mengenai apa yang ada di benak kita tentang pelayanan publik, jawabannya tentu bermacam-macam. Namun saya yakin sebagian besar menjawab: buruk. Mungkin ada yang mendapati pelayanan yang baik dan seharusnya namun sifatnya untung-untungan, mungkin bisa dibilang satu banding sepuluh bahkan mungkin seratus. Hal itu sudah menjadi rahasia umum
di kalangan masyarakat yang sudah sangat sering mencicipi berbagai pelayanan publik. Citra negatif tentang birokrasi publik maupun rendahnya kualitas pelayanan publik tercermin pada maraknya tanggapan, keluhan dan cibiran di koran misalnya, dapat disimak pada kolom surat pembaca atau pembaca menulis. Sepengalaman saya sendiri, pelayanan publik memang masih kurang responsif, efisien, dan akuntabel. Misalnya ketika saya sedang menjenguk saudara yang sedang dirawat di Rumah Sakit S di Kabupaten J, pelayanan petugasnya begitu buruk kepada pasien maupun pengunjung. Perawatnya galak, judes, dan memasang muka cemberut. Ada diskriminasi perawatan yang begitu terlihat antara pasien kelas VIP dan kelas biasa. Selain itu, administrasi yang panjang dan rumit serta banyaknya pungutan yang dikenakan ketika saya sedang melakukan cek buta warna juga sangat menyusahkan. Yang terbayang di kepala saya bagaimana bisa para orang sakit lekas sembuh apabila orang-orang di sekitar mereka seperti itu. Dan yang paling membekas di ingatan saya adalah ketika ayah saya kecelakaan mobil saat saya kira-kira kelas 5 SD, di saat beliau terbaring sekarat dan butuh perawatan segera malah didiamkan karena belum diurusnya administrasi. Sebegitu tega dan tidak responsifkah mereka yang saya masih pertanyakan.
Selain itu, masih sangat banyak pengalaman saya yang tidak mengenakkan mengenai pengalaman publik. Salah satunya yakni pengalaman saya dan teman-teman saya tahun lalu ketika menumpangi salah satu alat transportasi publik milik pemerintah, sebut saja K, untuk kembali menuju tempat kami kuliah. Untuk menuju kota kami, sebut saja kota J, kami harus transit di kota S untuk ganti kendaraan karena tidak ada kendaraan K yang langsung ke kota J. Pada waktu dalam kendaraan K menuju kota S, ternyata ada perbaikan jalur sehingga kendaraan K ini harus telat sekitar tiga jam. Akhirnya ketika sampai di kota S, ternyata kendaraan yang harusnya kami tumpangi ke kota J telah berangkat. Ketika kami complain, mereka hanya menyarankan naik kendaraan K yang lain dan pada saat itu hanya ada yang kelas eksekutif yang tentunya lebih mahal. Mau tidak mau kami harus membelinya meski dengan perasaan kecewa. Yang saya kesalkan adalah tidak ada ganti rugi sama sekali dari pihak kendaraan K. Pengalaman berikutnya yang kecil namun paling sering kita alami adalah masuk ke toilet di fasilitas-fasilitas pelayanan publik misalnya alat transportasi publik. Kotor dan bau yang paling sering saya lihat. Itulah sedikit contoh dari kurang memuaskannya pelayanan publik yang tidak perlu kita tutup-tutupi atau takut untuk mengatakannya karena kalau bukan masyarakat yang mengkritik siapa lagi.
Sejak tadi kita hanya membahas contoh-contoh pelayanan publik. Lalu apa sebenarnya pelayanan publik itu? Secara teoritik, birokrasi pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu; fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintahan umum (Osborne, 1996 ; LAN, 2007). Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik). Ada sepuluh prinsip pelayanan umum yang diatur Keputusan Menteri tersebut yakni Kesederhanaan, Kejelasan, Kepastian waktu, Akurasi, Keamanan, Tanggung jawab, Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, Kemudahan Akses, Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan, dan Kenyamanan. Sebagai salah satu fungsi birokrasi pemerintahan maka pelayanan publik merupakan syarat penting untuk mengukur tingkat keberhasilan kinerja suatu pemerintahan. Selain itu, demokratisasi pelayanan publik adalah wujud nyata tipe ideal pelaksanaan publik dalam bingkai good governance. Karakteristik good governance mencitrakan pelaksanaan pelayanan publik yang ideal dengan dipandu oleh prinsip-prinsip dasar: transparansi, partisipasi, akuntabilitas, responsif, demokratis, efektif-efisien dan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi manusia.
Berdasarkan penelitian situasi terakhir untuk pelayanan publik dari Good Development Service (GDS) tahun 2002-2004, ada beberapa hal permasalahan yang dihadapi yakni pertama, ketidakpastian pelayanan publik, waktu, biasa, cara pelayanan. Kedua, diskriminasi pelayanan publik menurut pertemanan, intansi, etnis agama. Ketiga, rentetan birokasi, suap pungli menjadi dianggap wajar dan bisa diterima. Keempat, orentasi tidak pada pengguna tetapi pada kepentingan pelayanan untuk pejabat. Sudah menjadi rahasia umum pelayanan publik “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” dikarenakan perilaku mencari keuntungan sesaat di kalangan aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan publik. Anggapan di kalangan petugas, bahwa yang membutuhkan sebenarnya adalah masyarakat bukan negara, sehingga yang perlu dilayani justru petugasnya. Sebenarnya inilah anggapan inilah yang paling harus segera dibersihkan dari otak para aparatur negara, ditanamkan lebih dalam lagi bahwa mereka adalah pelayan masyarakat dan digaji juga dari uang masyarakat. Selain itu yang patut dikecewakan jika terjadi pelanggaran administrasi maka masyarakat bisa dikenai sanksi dan merugi namun apabila aparatur yang salah maka masyarakat sangat sulit sekali mendapat ganti rugi.
Rendahnya kinerja pelayanan publik di Indonesia telah ditunjukan oleh hasil survei yang diadakan pada awal 2010 oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga konsultan yang bermarkas di Hongkong, yang mengeluarkan data yang mencoreng kinerja birokrasi pemerintah. Atas dasar standar penilaian dari 1 hingga 10, di mana angka 10 adalah terburuk, India mendapat skor 9,41. Dibelakangnya menguntit Indonesia dengan skor 8,59, lalu Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan China (7,93). Adapun Malaysia menggondol skor 6,97, kemudian Taiwan (6,60), Jepang (6,57), Korea Selatan (6,13), dan Thailand (5,53) (www.indonesiamonitor.com).
Fenomena lain yang terjadi yakni banyak masyarakat lebih menyenangi pelayanan swasta dibanding pelayanan publik terlepas dari komersialitas yang swasta punya. Sepengalaman saya pelayanan di bank swasta lebih nyaman dan memuaskan dibanding bank pemerintah. Pihak swasta dalam pelayanannya lebih memperhatikan konsumennya karena memang tujuan mereka untuk meraup konsumen sebanyak-banyaknya misalnya bank-bank swasta, hingga menghasilkan keuntungan lebih besar. Mereka bisa dibilang lebih mematuhi standar pelayanan minimum yang mereka punya dibanding pemerintah. Namun jangan pernah pernah berpikir untuk lebih melaksanakan penyelenggaraan pelayanan publik model privatisasi di Indonesia karena karena tugas pemerintah adalah menjamin keseimbangan antara kepentingan publik dan swasta sehingga lebih ideal jika sebagian besar tugas pelayanan publik dilakukan oleh pemerintah meskipun akhirnya banyak inefektivitas yang ditimbulkan akibat kepemilikan pemerintah pada perusahaan-perusahaan penghasil barang dan jasa publik.
Tentunya buruknya pelayanan publik ini tidak terlepas oleh banyak faktor yang salah satunya adalah reorganisasi. Belum ada fit and proper test secara menyeluruh untuk menentukan pegawai mana yang masih layak dan tidak untuk bekerja. Bahkan belum bisa ditentukan secara pasti berapa banyak pegawai negeri sipil yang benar-benar dibutuhkan oleh pemerintah agar birokrasi dapat lebih berjalan efisien dan efektif. Bisa dikatakan jumlah pegawai negeri sipil sekarang lebih dari kuota dan bahkan masih sangat banyak yang masih menunggu untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Inilah yang banyak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dan sudah menjadi rahasia umum. Seperti yang dialami oleh salah seorang saudara saya di kabupaten P. Orangtuanya yang merupakan pejabat di suatu departemen ‘menitipkannya’ dengan uang Rp 50 juta ke kenalannya yang dipercaya dapat membantu untuk meloloskannya pada tes PNS. Namun tiga hari sebelum pengumuman, atasan dari si kenalannya malah ‘melelang’ kelolosan tes PNS itu kepada penawar tertinggi yakni sekitar Rp 100 juta. Ternyata telah terjadi tawar menawar harga seperti itu. Hal seperti itu tentu akan sangat merugikan masyarakat yang lain terutama bagi CPNS dari keluarga miskin tapi layak yang harus menunggu bertahun-tahun untuk diangkat. Mungkin saja perekrutan yang salah ini adalah salah satu penyebab kebobrokan pelayanan publik sekarang ini, dan disinilah dibutuhkan bukan hanya peran pemerintah namun juga peran aktif masyarakat untuk bersama-sama mencari solusi yang tepat dan efektif untuk masalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar