Pages

Banner

Senin, 10 Januari 2011

Dilema Pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) dari Sudut Pandang Perekonomian Indonesia: Merugikan atau Tidak?


ACFTA menimbulkan kontroversi terkait apakah pemberlakuan ACFTA secara ekonomi itu akan menguntungkan ataukah merugikan Indonesia yang ada di dalamnya. Terkait perdagangan bebas yang menyebabkan semakin maraknya produk China di pasar Indonesia, pandangan sebelah mata mulai banyak ditujukan karena perdagangan bebas tersebut disinyalir tidak akan menguntungkan. Banyak pihak yang meminta untuk diadakan renegosiasi ulang bahkan menolak. Disinilah akan dibahas secara ekonomi mengenai potensi kerugian atau keuntungan dari ACFTA.
Perdagangan bebas memang memberikan keuntungan terutama pada konsumen dengan banyak macam produk dan harga yang lebih murah. Namun, di sisi lain menyebabkan kerugian bagi perusahaan yang produknya tidak dapat bersaing. Sebelum adanya perdagangan bebas dengan China pun Indonesia sudah dibanjiri oleh produk-produk China apalagi jika kemudian produk China masuk tanpa bea masuk atau dengan tariff nol persen maka sama saja melegalkan penyelundupan. Produk yang tidak dapat bersaing itu terutama adalah produk yang sifatnya subsitutif. Jadi jika dua atau beberapa produk di pasar yang sifatnya subsitutif, yang menawarkan harga lebih murah lah yang akan dipilih konsumen. Akibat banyaknya perusahaan yang kalah bersaing harus gulung tikar ataupun harus melakukan konstraksi akibat pengeluaran agregat masyarakat terhadap produk industry nasional lebih kecil dibanding pendapatan nasional (jumlah barang yang diproduksi), maka terjadilah pengurangan tenaga kerja yang berakibat meningkatnya pengangguran. Akan sangat banyak terjadi pengangguran karena perusahaan-perusahaan tersebut adalah industry padat karya yang telah banyak menyerap tenaga kerja. Selaim itu penerimaan pemerintah dari tariff juga akan berkurang. Bea masuk yang ditargetkan dalam APBN adalah Rp 9 triliun dengan adanya ACFTA akan berkurang sebanyak Rp 2 triliun
Industri manufaktur yang merupakan sektor industri padat karya adalah yang paling terancam. Sektor ini terus mengalami perlambatan hingga mencapai titik terendah pada triwulan III tahun 2008 dengan pertumbuhan 1,3 persen.
Diperkirakan ada sekitar tujuh sektor kemungkinan merugi, termasuk baja, elektronika, tekstil dan produksi tekstil (TPT), dan furniture. Biaya produksi di Indonesia tergolong tinggi sehingga harga pasar pun lebih tinggi dibandingkan harga produk China. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kebanyakan produk manufaktur China bersifat subsitutif terhadap produk manufaktur Indonesia. Hal ini didukung oleh data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa impor produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk tekstil (TPT) domestik turun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008.
Selain itu, kita tahu bahwa ekspor yang paling memberikan nilai positif terhadap neraca perdagangan antara China dan Indonesia adalah ekspor bahan mentah dan migas. Indonesia defisit 3,2 miliar dollar AS dalam perdagangan dengan China. Defisit ini, terutama bersumber dari perdagangan nonmigas, mencapai 4,6 miliar dollar AS. Jika kita proyeksikan ke depan, defisit ini akan membesar karena defisit perdagangan nonmigas sangat sulit tertutupi oleh surplus dari migas. Oleh karena itu, Indonesia harus semakin meningkatkan ekspor berbasis sumber daya alam, baik pertanian maupun pertambangan, untuk mengurangi defisit perdagangan. Namun dampak yang dikhawatirkan bagi kondisi perekonomian dalam negeri adalah krisis bahan baku industri terutama untuk konsumsi dalam negeri terutama migas karena kebanyakan telah diimpor ke China. Inilah yang menyebabkan bahan mentah menjadi langka dan mahal di dalam negeri.
Oleh karena itulah, ACFTA dinilai telanjur dan tergesa-gesa. Dampak dari penerapan ACFTA yang tergesa-gesa ini adalah ketergantungan ekonomi Indonesia akan semakin tinggi terutama terhadap produk-produk sensitif, seperti pangan dan tekstil. Selain itu, pemulihan ekonomi tahun 2010 ke depan akan semakin rentan. Ini mengakibatkan melemahnya daya serap tenaga kerja yang berujung meningkatnya pengangguran dan melambatnya pertumbuhan investasi.
Namun menurut pandangan mereka yang setuju, ACFTA seharusnya bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin. Daya tarik China adalah pasar yang luar biasa besar, apalagi kemakmuran rakyatnya meningkat terus. Dengan pendapatan nasional China yang sebegitu besarnya tentunya pendapatan riil masyarakat mereka juga besar. Ini memberi peluang yang besar bagi negara-negara lain untuk mengekspor ke sana.
Lepas dari kontroversi apakah ACFTA merugikan atau tidak sebaiknya pemerintah tetap harus memperkuat daya saing dengan berbagai kebijakan. Langkah yang sebaiknya dilakukan adalah menyiapkan berbagai instrumen yang mampu mendorong daya saing pengusaha lokal, di antaranya memperbaiki infrastruktur dan birokrasi, ketersediaan energi dan bahan mentah yang murah dan mudah, dan menekan suku bunga untuk meningkatkan investasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar